Hukum Hak Asasi Manusia
Oleh: M. Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H. (Hakim Pengadilan Agama Sungai Penuh)
Paling tidak, setengah abad terakhir, diskursus Hak Asasi Manusia (HAM) mendapat momentum. Mencuatnya diskursus
HAM lebih merupakan trauma atas perang dua kedua. Di mana martabat kemanusiaan terinjak-injak. Dengan demikian, konsensus HAM, yang dideklarasikan pada tahun 1948, adalah upaya. Agar martabat manusia dihargai.
Benar. Perang itu menyedihkan. Para orang tua yang mati di medan perang anak-anak yang merindukan orang tuanya. Dan sang ibu yang tidak tau bagaimana memberikan jawaban. Ketika si anak bertanya tenang bapaknya yang tidak kembali.
Langit yang terus mendung. Karena asap tebal kebakaran rumah penduduk sipil. Dan jangan harap ada suasana makan pagi yang tenang. Atau makan malam yang disertai obrolan keluarga.
Begitu pula senyum anak umur tujuh tahun yang sudah lupa bagaimana tersenyum. Karena suasana selalu tegang oleh suara ledakan-ledakan. Kondisi itu, melampaui problem kemiskinan yang melanda negara-negara miskin. Juga melampaui berita politik dalam negeri yang lebih sering menggecewakan.
Untuk mengakhiri itu semua. Mumpung, perang relatif reda. Kemanusiaan membuat kesepakatan yang diberi nama HAM. Untuk memastikan trauma perang itu tidak terulang lagi. Dan berharap kemanusiaan bisa menjalani hidup yang bermartabat.
Konsepsi HAM
Sub bagian ini akan berbicara tentang pengertian Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hal ini saya akan berusaha untuk memberikan pengertian HAM. Meski pengertian yang diajukan mungkin kurang komprehensif.
HAM adalah "Jaminan hukum yang bersifat universal yang berlaku bagi semua manusia untuk melindungi individu dan atau kelompok dari tindakan atau kelalaian Negara dan beberapa aktor non-negara yang berrisiko mengurangi martabat manusia yang fundamental."
Pengertian ini mungkin kurang memadai. Namun pengertian ini cukup jika dijadikan sebagai acuan dalam memahami HAM. Pengertian melingkupi beberapa unsur. Untuk lebih detail, kita akan ulas sebagai berikut: